Minggu, 14 Agustus 2016

#APYF2016:AgungAndrianPutra,Indonesia



            When I was a college student, I ever have internship in India. Meet a new people is my pleasure. Through this intern, I can make more friends, it support my communication skills, learn how to convey my great idea to others, and try to make an understanding for a differentiation. I get my achievement for my internship in India. I am proud to be apart to help India government to reduce the number of HIV AIDS, by teaching the community to stay away from free sex and drugs. One of my great experience when I must visit the high risk group, directly talk with them, and visit the government hospital to meet Peoples infected by HIV virus. This experience make me celebrating co-operation between different groups of people in a single society and socio-ecological philosophy that describes a sense of oneness despite physical or psychological barriers. I learn more things, that based on a mere tolerance of physical, cultural, linguistic, social, religious, political, ideological and/or psychological differences towards a more complex unity based on an understanding that difference enriches human interactions.   
After finish my study in university, I’ve become a part of Emergency Response team to help victims of West Sumatera earthquake, year 2009. By join Spanish Red Cross, I make a program called “RumahTumbuh”. It is a temporary shelter for the community. I have to lead, teach and educate our volunteers how to make the good construction, and at the end of this project we have built 2010 Temporary Shelter. Now, as a professional worker, I lead my team to give and presence best and excellent of public quality services for our customer.
I have join MaD (Make a Different) conference in Hongkong for twice, year 2014 and 2015. Both of conference take a theme by concern about environmental issues. I got more knowledge about greenhouse effect, how to built green city, and many social related issues. Back from this event, I tried to implement to my surrounding first, by encourage the people in my office to have a sense about green environment. In a time, we make an event to clean a beach in the week end. All the employee participate to this event.


















Picture 1. Activity of brush away the rubbish at “Pantai panjang” beach by Post Indonesia workers.








This activity conducting countinously as improvement in my office. In every saturday we clean our office surrounding environment supported by all the workers. Now all of us realize that save the earth could participate by all of the people, begin from the small thing, becouse as our said that the the big things begin from the small things.



Sabtu, 16 Juni 2012

Salam Perpisahan


Salam Perpisahan…

lima bulan bukanlah waktu yang lama, namun tidak pula sesingkat yang dikira. Dalam lima bulan kami bisa melakukan apa, tak selepas mengucap kata-kata yang tertutur teratur sesederhana untuk bercerita. Kami mengawali hari dengan pertemuan persahabatan, menjalaninya dengan hikmat kebersahajaan, mengakhiri dengan deraan dekapan yang tak mau terlepaskan. Tiada kata terucap, melainkan tatapan kuyu tak mau menjauh, akhir yang begitu tidak adil. Tatkala alur cerita kami sedang klimaks, mengapa harus mundur tanpa aba-aba yang bertanda.

Dedaunan pohon akasia di tepi lapangan seperti mengikuti gerakan lambaian tangan setiap orang seakan merasakan pahitnya hati karena perpisahan. Tembok tua rafflesia pun hanya mennganggukkan kepala tak rela melepas kebersamaan yang telah tercipta. Tak ada lagi langkah-langkah kecil kaki-kaki  yang menyelusuri koridor panjang itu, tak ada teriakan tawa riang canda dimalam-malam, tak ada lagi suara gitar pengantar tidur, tak ada lagi desingan raket pemukul bola tangkis di taman, tak ada lagi jejeran sepatu yang berbaris rapi di batas suci tatkala panggilan Tuhan menggema,
Tak ada lagi…dan tak ada lagi

Kami hanya mengulurkan tangan sebagai salam perpisahan, memberikan dekapan sebagai bukti persaudaraan. Meskipun kelihatan tegar, suara hati hanya insan yang bersangkutan dan Tuhan yang berkawan. Wajah ini terpaksa gembira berpoles kebohongan, karena memang tak satupun orang yang menyukai perpisahan. Mengapa waktu tidak bisa dikawal putarannya, tiba-tiba saja sudah bertepi. Memang waktu yang mempertemukan, namun mengapa masa tak berpeluang bercampur tangan lebih lama. Kami mengerti dengan sadar pertemuan itu adalah awal dari perpisahan. Tapi menghindari pertemuan bukankah bagian dari kepengecutan?

Waktu ini masih akan berputar, meskipun tetap tak terkawal. Namun kami percaya ada masa yang akan menjemput pertemuan ini lagi, meskipun di tempat yang tak bertuan, tanpa tembok rafflesia dan indahnya lambaian akasia di tepi lapangan.
Akhirnya…
Ketika masa sepi datang, ingat lah masa ketika deraan tawa yang pernah kita teriakkan
Ketika masa bosan datang, ingatlah ketika ejekan canda sebagai teman
Ketika rambut sudah tidak lagi hitam, ingatlah saat ketika kita merasa gagah di awal pertemuan
Ketika sakit menyerang badan, ingatlah kata-kata penghibur penyemangat dari teman-teman
Ketika ingatan sudah mulai kurang tajam, hari ini akan tetap menjadi tak terlupakan…
Ingat lah kawan,,,, Hidup Ini cuma sekali dan penuh dengan kejutan. Sampai jumpa lagi dilain kesempatan!!!

Jumat, 18 Mei 2012

Notes Si 43192


Rahasia Pandangan
Ketika kita melihat suatu keindahan dengan sekilas pandang, maka yang kita dapatkan adalah keindahan semu. Namun ketika melayangkan pandang sekali lagi, maka kita akan memperoleh pembenaran dari keindahan yang kita lihat sebelumnya.
Begitu juga saat kita mengenal seseorang, ketika keindahan fisik menjadi patokan lirikan mata, pandangan itu pula yang menghadirkan kerinduan untuk bertemu lagi. Tapi apa yang kebanyakan terjadi, ketika pertemuan itu kembali berulang, kita dapat melihat secara lebih jelas detail dan keseluruhannya, kekurangan selalu muncul untuk mengurungkan pujian. Namun ketika pandangan ini tidak begitu berarti karena keindahan yang sebelumnya tak menarik hati, justru karena pembenaran pandangan kali kedua kelihatan lebih berbeda. Itulah rahasia pandangan, mengenal lebih baik daripada ketika harus memutuskan penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan sekilas pandang, berdasarkan gerak tubuh, namun pembicaraan yang terurai yang terciptalah sebagai penentu nilai yang sebenarnya.
Tulisan ini ditulis ketika adanya pembicaraan santai diruangan customer service kantor Pos Sukabumi. Tulisan ini juga tidak bermaksud untuk merendahkan suatu kaum tertentu, tapi sebagai pengalaman hidup untuk mencari suatu pembelajaran. Dan cerita ini bukanlah gambaran masyarakat secara menyeluruh, melainkan beberapa oknum saja.
Disiang itu,tatkala kami duduk-duduk santai di bangku antrian, tiga orang wanita muda muncul menuju ruangan tempat kami mengobrol mengisi waktu. Pertama terlintas di kepala adalah mereka pelanggan yang komplen karena kurang baiknya pelayanan yang diberikan perusahaan. Namun ketika di dengar lebih jauh, salah seorang dari mereka, yang berkostum baju kaos merah dengan celana jeans trendi seperti kebanyakan gaya busana yang dipakai oleh anak muda zaman sekarang bermaksud mengurus legalisasi surat menyurat dan dokumen perceraian. Tak pelak yang terlintas dibenakku, wanita muda yang lumayan cantik, harus menyandang status janda, apa kata dunia????
Di kampungku, kota kecil yang bernama Mukomuko di bagian paling utara propinsi Bengkulu, status janda sangat lah tidak baik untuk predikat seorang wanita, apalagi seorang wanita muda. Status janda menjadi sangat terhormat ketika maut yang menjadi pemisah, itulah ujian cinta yang sebenarnya. Namun status janda yang tercipta dari sebuah perceraian, apalagi terjadi berkali-kali adalah sebuah cemo’ohan yang mengundang  aib  melalui pergunjingan bahwa  pelaku bukanlah orang baik-baik, yang tidak mampu menjaga kehormatan keluarga. Sekali lagi wanita yang menjadi ujung tombak penilaian, meskipun  tidak selalu demikian, karena pria juga mempunyai peranan kunci terhadap terjadinya sebuah perceraian. Itulah pola nilai masyarakat timur, realita patriarki masih sangat kental menjadi anutan.
Setelah ketiga wanita tadi beranjak dari tempat duduk di depan meja customer service, kami lalu menghampiri ibu yang bertugas sebagai customer service di kantor itu. ibu itu pun akhirnya bercerita panjang lebar tentang kebiasaan yang terjadi di daerah setempat. “kawin cerai mah biasa disini” ungkap ibu itu dengan logat sundanya. Kami pun semakin tertarik untuk menyimak lebih jauh. “masih muda-muda lagi, kebanyakan mereka cerai karena masalah uang”, lanjut ibu itu. “dulu ada yang bercerai gara-gara tidak dibelikan mobil oleh suaminya”. Aku pun tersentak mendengar pengakuan ibu yang terakhir ini. Masa cuma gara-gara sebuah mobil, martabat sebuah rumah tangga harus dikorbankan. Penasaran kami pun semakin muncul. Dengan mimik yang serius, aku bersama dua rekan yang sama-sama sedang mengikuti OJT (on the job training) dikantor Pos Sukabumi mulai mendengar dengan seksama cerita pengalaman dan pengamatan ibu itu tentang polah tingkah dan kebiasaan sebagian masyarakat setempat.
Rata-rata masyarakat setempat, khususnya kaum hawa memiliki kegemaran bersolek. Jadi tidak heran ketika menjumpai perempuan-perempuan cantik yang semakin cantik dengan polesan riasan dan gincu yang menempel di wajah dan bibir mereka. Wajah yang kelihatan tidak menarik sebelumnya pun menjadi lebih berbeda dan terlihat mencolok dari biasanya. Itulah ciri khas masyarakat disini, penampilan adalah modal awal untuk menarik dan menangkap pandangan lawan jenis. Begitu sangat menggoda nya mereka…
Namun pada sebagian orang, kebiasaan seperti ini telah merobah pola pikir mereka menjadi lebih Heidonis. Mereka menggunakan modal wajah pemikat nan rupawan untuk mendapatkan pria-pria kaya yang bisa mensuplai pundi-pundi uang pemenuh kebutuhan primer mereka. Segala sesuatunya tergantung dari seberapa tingginya pangkat seseorang, seberapa tebalnya dompet yang terselip di kantong celana, dan seberapa banyak nya harta yang bisa dikalkulasi untuk hari-hari kedepan. Inilah hidup yang meletakkan dasar harta benda sebagai pemuas nafsu dunia, bukan karena putihnya cinta yang telah memalingkan wajah untuk sebuah penghambaan karena indahnya sebuah akhlak yang mulia.
Yang lebih mengejutkan lagi, ada juga sebagian orang yang rela dinikahi secara kontrak dalam periode tertentu dengan orang-orang luar. Pada akhirnya ketika masa tinggal orang yang bersangkutan habis, maka habis pula cinta diantara mereka. Sebenarnya ini bukan cinta, melainkan padamnya gairah untuk menyanjung karena telah lenyapnya sumber uang yang pergi begitu saja. Lalu, bagaimana dengan nasib anak-anak mereka???
Ibu itu kembali melanjutkan ceritanya, anak-anak yang terlahir itu biasanya dititipkan dengan nenek/kakeknya ataupun keluarga lainnya. Alhasil, anak-anak ini kehilangan kasih sayang, dan yang lebih celaka, mereka tidak mengenal siapa orang tua mereka sebenarnya. Kalaupun mereka tahu orang tua mereka, mereka tidak pernah merasakan hangat nya belaian seorang ibu ketika menidurkan bayinya di pangkuan, kekarnya tangan seoarng ayah ketika sedang menggendong buah hati nya. Itulah realita yang ada!
Lalu kemana para orang tua itu setelah melahirkan mereka? Sebagian  ada yang mencoba peruntungan menjadi TKI di beberapa Negara jiran, sebagian ada yang menikah lagi tanpa mau disibukkan dengan membawa anak mereka ke rumah baru nya. Kewajiban sebagai orang tua hanya dijalankan sebatas mengirimkan uang bulanan untuk biaya hidup anaknya. Sungguh miris rasanya memiliki orang tua seperti ini.
Itulah pengkhianat cinta, orang yang mengatakan cinta ketika segepok uang kertas terlihat mempesona, orang mengatakan sayang ketika melihat betapa kilaunya emas dan intan berlian sebagai perhiasan, orang yang mengatakan kasih tatkala terpaut dengan wajah yang rupawan. Percayalah kawan, sebuah firman Tuhan ini pangkulah sebagai kebenaran dan jalan pasti dalam mencapai pelabuhan kebahagian, “Sesungguhnya wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, begitu juga sebaliknya”.
Diakhir cerita, ibu itu berkata,” kalau ada para pemangku jabatan yang bertugas di sini tidak tergoda dengan rayuan dan godaan dari dara-dara jelita setempat, itulah makhluk yang sebaik-sebaiknya dengan iman kuat di dalam dada”.
Sekali lagi, janganlah melihat keindahan dari sebagian pandangan, lihatlah dua kali untuk pembenaran. Jangan lah mengagungkan kasih sayang karena harta yang bergelimang, kenalilah hati  dan bicaralah dengan kalbu yang terdalam.
Percakapan ini pun terhenti ketika jam istirahat siang sudah memanggil perut kami yang kelaparan. Semoga ini dapat memberikan sedikit pengertian bagi teman-teman yang dalam tahap penjajakan untuk memulai sebuah komitmen berkelanjutan. Semoga sebuah pilihan akan menjadi pilihan yang tak pernah lekang.
Amin!!!
@kost2an OJT POK, Sukabumi 2012

Rahasia Pandangan
Ketika kita melihat suatu keindahan dengan sekilas pandang, maka yang kita dapatkan adalah keindahan semu. Namun ketika melayangkan pandang sekali lagi, maka kita akan memperoleh pembenaran dari keindahan yang kita lihat sebelumnya.
Begitu juga saat kita mengenal seseorang, ketika keindahan fisik menjadi patokan lirikan mata, pandangan itu pula yang menghadirkan kerinduan untuk bertemu lagi. Tapi apa yang kebanyakan terjadi, ketika pertemuan itu kembali berulang, kita dapat melihat secara lebih jelas detail dan keseluruhannya, kekurangan selalu muncul untuk mengurungkan pujian. Namun ketika pandangan ini tidak begitu berarti karena keindahan yang sebelumnya tak menarik hati, justru karena pembenaran pandangan kali kedua kelihatan lebih berbeda. Itulah rahasia pandangan, mengenal lebih baik daripada ketika harus memutuskan penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan sekilas pandang, berdasarkan gerak tubuh, namun pembicaraan yang terurai yang terciptalah sebagai penentu nilai yang sebenarnya.
Tulisan ini ditulis ketika adanya pembicaraan santai diruangan customer service kantor Pos Sukabumi. Tulisan ini juga tidak bermaksud untuk merendahkan suatu kaum tertentu, tapi sebagai pengalaman hidup untuk mencari suatu pembelajaran. Dan cerita ini bukanlah gambaran masyarakat secara menyeluruh, melainkan beberapa oknum saja.
Disiang itu,tatkala kami duduk-duduk santai di bangku antrian, tiga orang wanita muda muncul menuju ruangan tempat kami mengobrol mengisi waktu. Pertama terlintas di kepala adalah mereka pelanggan yang komplen karena kurang baiknya pelayanan yang diberikan perusahaan. Namun ketika di dengar lebih jauh, salah seorang dari mereka, yang berkostum baju kaos merah dengan celana jeans trendi seperti kebanyakan gaya busana yang dipakai oleh anak muda zaman sekarang bermaksud mengurus legalisasi surat menyurat dan dokumen perceraian. Tak pelak yang terlintas dibenakku, wanita muda yang lumayan cantik, harus menyandang status janda, apa kata dunia????
Di kampungku, kota kecil yang bernama Mukomuko di bagian paling utara propinsi Bengkulu, status janda sangat lah tidak baik untuk predikat seorang wanita, apalagi seorang wanita muda. Status janda menjadi sangat terhormat ketika maut yang menjadi pemisah, itulah ujian cinta yang sebenarnya. Namun status janda yang tercipta dari sebuah perceraian, apalagi terjadi berkali-kali adalah sebuah cemo’ohan yang mengundang  aib  melalui pergunjingan bahwa  pelaku bukanlah orang baik-baik, yang tidak mampu menjaga kehormatan keluarga. Sekali lagi wanita yang menjadi ujung tombak penilaian, meskipun  tidak selalu demikian, karena pria juga mempunyai peranan kunci terhadap terjadinya sebuah perceraian. Itulah pola nilai masyarakat timur, realita patriarki masih sangat kental menjadi anutan.
Setelah ketiga wanita tadi beranjak dari tempat duduk di depan meja customer service, kami lalu menghampiri ibu yang bertugas sebagai customer service di kantor itu. ibu itu pun akhirnya bercerita panjang lebar tentang kebiasaan yang terjadi di daerah setempat. “kawin cerai mah biasa disini” ungkap ibu itu dengan logat sundanya. Kami pun semakin tertarik untuk menyimak lebih jauh. “masih muda-muda lagi, kebanyakan mereka cerai karena masalah uang”, lanjut ibu itu. “dulu ada yang bercerai gara-gara tidak dibelikan mobil oleh suaminya”. Aku pun tersentak mendengar pengakuan ibu yang terakhir ini. Masa cuma gara-gara sebuah mobil, martabat sebuah rumah tangga harus dikorbankan. Penasaran kami pun semakin muncul. Dengan mimik yang serius, aku bersama dua rekan yang sama-sama sedang mengikuti OJT (on the job training) dikantor Pos Sukabumi mulai mendengar dengan seksama cerita pengalaman dan pengamatan ibu itu tentang polah tingkah dan kebiasaan sebagian masyarakat setempat.
Rata-rata masyarakat setempat, khususnya kaum hawa memiliki kegemaran bersolek. Jadi tidak heran ketika menjumpai perempuan-perempuan cantik yang semakin cantik dengan polesan riasan dan gincu yang menempel di wajah dan bibir mereka. Wajah yang kelihatan tidak menarik sebelumnya pun menjadi lebih berbeda dan terlihat mencolok dari biasanya. Itulah ciri khas masyarakat disini, penampilan adalah modal awal untuk menarik dan menangkap pandangan lawan jenis. Begitu sangat menggoda nya mereka…
Namun pada sebagian orang, kebiasaan seperti ini telah merobah pola pikir mereka menjadi lebih Heidonis. Mereka menggunakan modal wajah pemikat nan rupawan untuk mendapatkan pria-pria kaya yang bisa mensuplai pundi-pundi uang pemenuh kebutuhan primer mereka. Segala sesuatunya tergantung dari seberapa tingginya pangkat seseorang, seberapa tebalnya dompet yang terselip di kantong celana, dan seberapa banyak nya harta yang bisa dikalkulasi untuk hari-hari kedepan. Inilah hidup yang meletakkan dasar harta benda sebagai pemuas nafsu dunia, bukan karena putihnya cinta yang telah memalingkan wajah untuk sebuah penghambaan karena indahnya sebuah akhlak yang mulia.
Yang lebih mengejutkan lagi, ada juga sebagian orang yang rela dinikahi secara kontrak dalam periode tertentu dengan orang-orang luar. Pada akhirnya ketika masa tinggal orang yang bersangkutan habis, maka habis pula cinta diantara mereka. Sebenarnya ini bukan cinta, melainkan padamnya gairah untuk menyanjung karena telah lenyapnya sumber uang yang pergi begitu saja. Lalu, bagaimana dengan nasib anak-anak mereka???
Ibu itu kembali melanjutkan ceritanya, anak-anak yang terlahir itu biasanya dititipkan dengan nenek/kakeknya ataupun keluarga lainnya. Alhasil, anak-anak ini kehilangan kasih sayang, dan yang lebih celaka, mereka tidak mengenal siapa orang tua mereka sebenarnya. Kalaupun mereka tahu orang tua mereka, mereka tidak pernah merasakan hangat nya belaian seorang ibu ketika menidurkan bayinya di pangkuan, kekarnya tangan seoarng ayah ketika sedang menggendong buah hati nya. Itulah realita yang ada!
Lalu kemana para orang tua itu setelah melahirkan mereka? Sebagian  ada yang mencoba peruntungan menjadi TKI di beberapa Negara jiran, sebagian ada yang menikah lagi tanpa mau disibukkan dengan membawa anak mereka ke rumah baru nya. Kewajiban sebagai orang tua hanya dijalankan sebatas mengirimkan uang bulanan untuk biaya hidup anaknya. Sungguh miris rasanya memiliki orang tua seperti ini.
Itulah pengkhianat cinta, orang yang mengatakan cinta ketika segepok uang kertas terlihat mempesona, orang mengatakan sayang ketika melihat betapa kilaunya emas dan intan berlian sebagai perhiasan, orang yang mengatakan kasih tatkala terpaut dengan wajah yang rupawan. Percayalah kawan, sebuah firman Tuhan ini pangkulah sebagai kebenaran dan jalan pasti dalam mencapai pelabuhan kebahagian, “Sesungguhnya wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, begitu juga sebaliknya”.
Diakhir cerita, ibu itu berkata,” kalau ada para pemangku jabatan yang bertugas di sini tidak tergoda dengan rayuan dan godaan dari dara-dara jelita setempat, itulah makhluk yang sebaik-sebaiknya dengan iman kuat di dalam dada”.
Sekali lagi, janganlah melihat keindahan dari sebagian pandangan, lihatlah dua kali untuk pembenaran. Jangan lah mengagungkan kasih sayang karena harta yang bergelimang, kenalilah hati  dan bicaralah dengan kalbu yang terdalam.
Percakapan ini pun terhenti ketika jam istirahat siang sudah memanggil perut kami yang kelaparan. Semoga ini dapat memberikan sedikit pengertian bagi teman-teman yang dalam tahap penjajakan untuk memulai sebuah komitmen berkelanjutan. Semoga sebuah pilihan akan menjadi pilihan yang tak pernah lekang.
Amin!!!
@kost2an OJT POK, Sukabumi 2012